Perangkat BK

Media bimbingan klasikal yang inovatif meningkatkan keaktifan siswa.

Double Track Tata Busana SMAN 1 Sampung

Proyek penelitian SMA DT keterampilan tata busana dari Dosen UNESA

Inovasi Bimbingan Klasikal

Mengimplementasikan teknologi AR dalam Bimbingan Klasikal.

Sabtu, 26 Februari 2022

Mengapa Harus Pembelajaran Berdiferensiasi? (Koneksi antar Materi)

Pendidikan adalah persemaian benih-benih kebudayaan. Keberagaman peserta didik mendapat pengakuan dan memperoleh perhatian secara proporsional guna mencapai potensi terbaik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Memposisikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran adalah prinsip utama dan penting dilakukan oleh seorang pendidik. Sehingga ungkapan "guru harus menghamba pada murid" dapat dimaknai dengan seorang guru harus mampu memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap murid. 

Setiap murid hadir di sekolah dengan berbagai karakteristik dan potensi yang beragam dan unik. Keragaman yang terbentuk adalah hasil dari interaksi dan cara belajar dari orang tua, lingkungan dan budaya yang berbeda-beda. Kondisi tersebutlah yang mendorong seorang guru memberikan pembelajaran dengan cara ataupun strategi berbeda untuk memenuhi kebutuhan belajar setiap muridnya. Proses pembelajaran yang mampu mengakomodir kebutuhan murid secara masuk akal inilah yang diharapkan membawa hasil yang berbeda dibandingkan dengan strategi pembelajaran yang menyamaratakan kondisi murid.

Melalui pembelajaran berdiferensiasi akan mampu menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, kurikulum memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas, terdapat penilaian berkelanjutan, guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar murid, dan manajemen kelas yang efektif. Untuk mewujudkan hal tersebut, ada tiga langkah yang harus dilakukan oleh guru. Langkah pertama yaitu melakukan pemetaan kebutuhan belajar berdasarkan tiga aspek (kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar murid (bisa dilakukan melalui wawancara, observasi, atau survey menggunakan angket, dll). Kedua dengan merencanakan pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan hasil pemetaan (memberikan berbagai pilihan baik dari strategi, materi, maupun cara belajar). Langkah berikutnya, mengevaluasi dan merefleksi pembelajaran yang sudah berlangsung.

Pemetaan kebutuhan dan karakteristik murid merupakan titik awal keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi. Sehingga pada fase awal ini guru harus mampu mengidentifikasi karakteristik murid (kesiapan, minat dan profil). Atas dasar data inilah strategi pembelajaran yang masuk akal akan dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Dalam usaha identifikasi tersebut, selain dengan usaha sendiri, guru juga dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak di sekolah maupun orang tua siswa di rumah. Salah satu pihak di sekolah yang sering melakukan kegiatan instrumentasi adalah guru BK. Sehingga guru BK bisa dijadikan partner utama dalam mempersiapkan pembelajaran berdiferensiasi.

Data pemetaan yang valid menjadi dasar pemilihan strategi dalam pembelajaran berdiferensiasi. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, setidaknya ada 3 strategi, yaitu: 1) diferensiasi konten, konten adalah apa yang akan diajarkan kepada murid; 2) diferensiasi proses, proses mengacu pada bagaimana murid akan memahami atau memaknai apa yang dipelajari; 3) diferensiasi produk, produk adalah hasil pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukkan murid kepada kita (karangan, pidato, rekaman, diagram) atau sesuatu yang ada wujudnya. 
Melalui salah satu dari strategi tersebut, upaya masuk akal seorang guru untuk memberikan model pembelajaran yang berbeda di dalam kelas akan mampu mengakomodir kebutuhan setiap siswa. Rasa dihargai yang akan muncul dalam hati siswa akan menumbuhkan rasa nyaman dan motivasi untuk aktif sehingga potensi tiap siswa mampu tumbuh dan berkembang.

Proses pembelajaran berdiferensiasi inilah perwujudan dari pendidikan yang berpusat pada siswa. Upaya mewujudkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman karakteristik dan potensi murid akan mampu menciptakan rasa nyaman dalam proses belajar. Guru penggerak sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak kepada murid dengan segala kreativitasnya akan mampu menuntun segala kodrat murid, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 

Jumat, 18 Februari 2022

Menumbuhkan Budaya Positif di Sekolah (Aksi Nyata Pendidikan Guru Penggerak)


Paradigma Stimulus Respon Versus Teori Kontrol

Ketika mempelajari paradigma stimulus respon versus teori kontrol, mengajak kita untuk kembali mengingat teori clasical conditioning (behavior) yang dipopulerkan oleh Ivan Pavlov dan juga Watson. Perubahan perilaku terbentuk sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Munculnya perilaku baru siswa merupakan hasil interaksi stimulus dan respon. Bahkan pemberian stimulus akan mampu memperkuat perilaku tersebut. Pada bagian ini, teori stimulus respon dihadapkan dengan teori kontrol. Teori kontrol sendiri merupakan konsep teori yang dipopulerkan oleh William Glasser (bapaknya konseling realitas). Berbeda dengan konsep stimulus respon, perilaku dan kondisi seorang individu sangat dipengaruhi oleh tingkat keterpenuhan kebutuhan dasar yang dimiliki manusia. Dalam konsep realitas dimunculkan lima kebutuhan psikologis dasar manusia, diantaranya power, love and belonging, freedom, fun dan survival (Glasser, 1990). Melalui teori kontrol, Glasser berusaha menawarkan pandangan tentang dunia yang lebih mengakui keberagaman kondisi manusia.

Pembelajaran berpusat pada murid sebagaimana yang tertuang pada pemikiran Ki Hajar Dewantara, merupakan pembelajaran yang mengakui setiap perbedaan murid di dalam kelas. Pengkondisian lingkungan pembelajaran yang kondusif dan pengambilan posisi seorang guru yang tepat akan mampu memaksimalkan pengembangan potensi setiap siswa di kelasnya. Konsep tentang kebutuhan dasar dan teori kontrol inilah kemudian menjadi dasar dalam restrukturisasi disiplin yang diutarakan oleh Dianne Gossen, atau yang lebih dikenal dengan disiplin positif.

Restitution: Restructuring Positif Disciplin (Motivasi Perilaku, Keyakinan, Posisi Kontrol dan Segitiga Restitusi)
Dianne Gossen mendasarkan konsep disiplin positif pada teori kontrol dan sekolah yang berkualitas (William Glasser) yang menjadi bagian dari pendekatan konseling realitas. Disiplin positif sendiri merupakan model pengelolaan kelas yang berfokus pada penciptaan kondisi anak merasa dihargai. Upaya membentuk dan memodifikasi perilaku yang berfokus pada keyakinan-keyakinan yang telah disepakati. Tidak lain, tujuan dari penerapan disiplin positif ini merupakan disiplin diri (self discipline)

Frasa restrukturisasi disiplin positif (restructuring positif discipline) mengajak para pendidik/guru merestrukturisasi ulang konsep pendisiplinan siswa di sekolah. Praktik pendisiplinan yang umumnya memuat peraturan dan sanksi yang diwarnai pemberian reward untuk memperkuat perilaku serta pemberian hukuman untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan kini dirasa tidak efektif. Selain itu praktik tersebut tidak mampu menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran yang akan dapat mencapai rasa aman, nyaman dengan mencukupi kebutuhan dasarnya. Sehingga disiplin positif mendorong guru untuk merubah paradigma dari sekedar peraturan  dan hukuman, namun menjadikan disiplin benar-benar berasal dari diri siswa melalui keyakinan-keyakinan positif yang ada dalam dirinya. Sehingga murid benar-benar merasakan penghargaan meskipun mereka melakukan perilaku pelanggaran. Merasa dihargai, merupakan modal untuk mengembangkan perilaku positif. 

Lalu bagaimana seorang guru harus mengambil peran dalam disiplin positif?

Teori motivasi manusia, Gossen mengungkapkan 3 motivasi perilaku manusia: 1) menghindari ketidaknyamanan atau hukuman; 2) mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain; 3) menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Alasan dari seorang individu memunculkan perilaku menjadi dasar utama memodifikasi perilaku (memunculkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi/menghilangkan perilaku yang tidak diiinginkan). Dalam disiplin positif, motivasi yang dianggap palin sesuai ialah yang ketiga "menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya". Motivasi tersebut dianggap mampu memunculkan perilaku positif dalam jangka waktu lama (menjadi kebiasaan) dibanding 2 motivasi yang lainnya. 
A
All behavior is an attempt to meet one of these needs. When a child demonstrates behavior that is inappropriate, our role is to help them meet their need in a more acceptable manner (Dianne Gossen) 

Posisi Kontrol, semua perilaku merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan tersebut. Ketika seorang anak menunjukkan perilaku yang tidak pantas, peran kita adalah membantu mereka memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih dapat diterima. Dalam melaksanakan praktik disiplin disekolah, terdapat lima posisi kontrol yang diperankan oleh seorang guru, diantaranya: 1) penghukum; 2) pembuat orang merasa bersalah; 3) teman; 4) monitor atau pemantau dan; 5) manajer. Untuk menerapkan disiplin positif dalam upaya memodifikasi perilaku siswa, seorang guru harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Untuk lebih jelas, konsep 5 posisi kontrol dapat di akses pada link berikut.

Keyakinan Dasar Dibalik Restitusi: kecelakaan adalah bagian dari kehidupan. Restitusi adalah tentang membuat segalanya lebih baik. Restitusi memungkinkan individu untuk mendapatkan kembali harga diri melalui usaha pribadi. Restitusi menguntungkan orang yang dirugikan. Ini juga menguntungkan orang yang melakukan kesalahan. Pengampunan tidak sama dengan Restitusi.

Keyakinan kelas, untuk mewujudkan self discipline dengan efektif, pengakuan terhadap harga diri dan nilai-nilai yang dimiliki individu harus dikedepankan. Keyakinan-keyakinan inilah sebagai perwujudan nilai-nilai positif yang bersifat universal dan tidak terikat oleh latarbelakang atau entitas tertentu.  Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Keyakinan kelas ini disusun berdasarkan nilai-nilai positif dengan memperhatikan: 1) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit; 2) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal; 3) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif; 4) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas; 5) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut; 6) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat; 7) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.


Restitusi, dalam KBBI restitusi diartikan "ganti kerugian", namun dalam disiplin positif, kata restitusi memiliki makna mengganti perilaku dengan mengkompromikan nilai-nilai yang dianut oleh siswa. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).

Restitusi adalah upaya kuratif yang dilakukan guru terhadap siswa yang melakukan perilaku negatif di sekolah. Penanganan perilaku menyimpang tersebut tentu saja dengan mengutamakan nilai-nilai yang dimiliki siswa tersebut dan yang telah menjadi keyakinan sebelum perilaku menyimpang itu muncul. 

Bagaimana restitusi diterapkan?

Segitiga Restitusi

Segitiga Restitusi, merupakan tahapan yang ditawarkan oleh Dianne Gossen dalam menerapkan disiplin positif. Tahapan yang bisa dilakukan untuk melakukan resitusi diantaranya: 1) Menstabilkan identitas, Bagian dasar segitiga, merupakan upaya mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses; 2) Validasi tindakan yang salah, merupakan upaya untuk mengenali motivasi munculnya perilaku bermasalah dan sebagai pendorong murid untuk lebih terbuka tentang dirinya; 3) Menanyakan keyakinan, mengingatkan kembali terhadap keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh siswa sebagai upaya mengambil solusi penanganan yang tetap menghargai nilai-nilai yang dimiliki siswa untuk mengembangkan perilaku positif ataupun perilaku yang seharusnya dilakukan. 


Aksi nyata yang dilakukan berkaitan dengan upaya menumbuhkan budaya positif.

  1. Melaksanakan layanan konseling dengan pendekatan realitas sebagai wujud aksi nyata konsep teori kontrol William Glaseer.
  2. Berlatih menyusun keyakinan kelas yang berpusat pada nilai-nilai positif yang dimiliki oleh siswa.
  3. Melaksanakan deseminasi pengetahuan dan pengalaman dalam forum MGBK SMA Ponorogo
  4. Menjadi pemateri dalam In House Training di sekolah dengan tema Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila melalui Pengembangan Budaya Positif di Sekolah (Analisis Filosofi Ki Hajar Dewantara, Identifikasi Peran Guru, Menyusun Keyakinan Kelas dan Kreasi Animasi Berkarakter)