Jumat, 18 Februari 2022

Menumbuhkan Budaya Positif di Sekolah (Aksi Nyata Pendidikan Guru Penggerak)


Paradigma Stimulus Respon Versus Teori Kontrol

Ketika mempelajari paradigma stimulus respon versus teori kontrol, mengajak kita untuk kembali mengingat teori clasical conditioning (behavior) yang dipopulerkan oleh Ivan Pavlov dan juga Watson. Perubahan perilaku terbentuk sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Munculnya perilaku baru siswa merupakan hasil interaksi stimulus dan respon. Bahkan pemberian stimulus akan mampu memperkuat perilaku tersebut. Pada bagian ini, teori stimulus respon dihadapkan dengan teori kontrol. Teori kontrol sendiri merupakan konsep teori yang dipopulerkan oleh William Glasser (bapaknya konseling realitas). Berbeda dengan konsep stimulus respon, perilaku dan kondisi seorang individu sangat dipengaruhi oleh tingkat keterpenuhan kebutuhan dasar yang dimiliki manusia. Dalam konsep realitas dimunculkan lima kebutuhan psikologis dasar manusia, diantaranya power, love and belonging, freedom, fun dan survival (Glasser, 1990). Melalui teori kontrol, Glasser berusaha menawarkan pandangan tentang dunia yang lebih mengakui keberagaman kondisi manusia.

Pembelajaran berpusat pada murid sebagaimana yang tertuang pada pemikiran Ki Hajar Dewantara, merupakan pembelajaran yang mengakui setiap perbedaan murid di dalam kelas. Pengkondisian lingkungan pembelajaran yang kondusif dan pengambilan posisi seorang guru yang tepat akan mampu memaksimalkan pengembangan potensi setiap siswa di kelasnya. Konsep tentang kebutuhan dasar dan teori kontrol inilah kemudian menjadi dasar dalam restrukturisasi disiplin yang diutarakan oleh Dianne Gossen, atau yang lebih dikenal dengan disiplin positif.

Restitution: Restructuring Positif Disciplin (Motivasi Perilaku, Keyakinan, Posisi Kontrol dan Segitiga Restitusi)
Dianne Gossen mendasarkan konsep disiplin positif pada teori kontrol dan sekolah yang berkualitas (William Glasser) yang menjadi bagian dari pendekatan konseling realitas. Disiplin positif sendiri merupakan model pengelolaan kelas yang berfokus pada penciptaan kondisi anak merasa dihargai. Upaya membentuk dan memodifikasi perilaku yang berfokus pada keyakinan-keyakinan yang telah disepakati. Tidak lain, tujuan dari penerapan disiplin positif ini merupakan disiplin diri (self discipline)

Frasa restrukturisasi disiplin positif (restructuring positif discipline) mengajak para pendidik/guru merestrukturisasi ulang konsep pendisiplinan siswa di sekolah. Praktik pendisiplinan yang umumnya memuat peraturan dan sanksi yang diwarnai pemberian reward untuk memperkuat perilaku serta pemberian hukuman untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan kini dirasa tidak efektif. Selain itu praktik tersebut tidak mampu menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran yang akan dapat mencapai rasa aman, nyaman dengan mencukupi kebutuhan dasarnya. Sehingga disiplin positif mendorong guru untuk merubah paradigma dari sekedar peraturan  dan hukuman, namun menjadikan disiplin benar-benar berasal dari diri siswa melalui keyakinan-keyakinan positif yang ada dalam dirinya. Sehingga murid benar-benar merasakan penghargaan meskipun mereka melakukan perilaku pelanggaran. Merasa dihargai, merupakan modal untuk mengembangkan perilaku positif. 

Lalu bagaimana seorang guru harus mengambil peran dalam disiplin positif?

Teori motivasi manusia, Gossen mengungkapkan 3 motivasi perilaku manusia: 1) menghindari ketidaknyamanan atau hukuman; 2) mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain; 3) menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Alasan dari seorang individu memunculkan perilaku menjadi dasar utama memodifikasi perilaku (memunculkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi/menghilangkan perilaku yang tidak diiinginkan). Dalam disiplin positif, motivasi yang dianggap palin sesuai ialah yang ketiga "menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya". Motivasi tersebut dianggap mampu memunculkan perilaku positif dalam jangka waktu lama (menjadi kebiasaan) dibanding 2 motivasi yang lainnya. 
A
All behavior is an attempt to meet one of these needs. When a child demonstrates behavior that is inappropriate, our role is to help them meet their need in a more acceptable manner (Dianne Gossen) 

Posisi Kontrol, semua perilaku merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan tersebut. Ketika seorang anak menunjukkan perilaku yang tidak pantas, peran kita adalah membantu mereka memenuhi kebutuhannya dengan cara yang lebih dapat diterima. Dalam melaksanakan praktik disiplin disekolah, terdapat lima posisi kontrol yang diperankan oleh seorang guru, diantaranya: 1) penghukum; 2) pembuat orang merasa bersalah; 3) teman; 4) monitor atau pemantau dan; 5) manajer. Untuk menerapkan disiplin positif dalam upaya memodifikasi perilaku siswa, seorang guru harus mengambil posisi kontrol yang tepat. Untuk lebih jelas, konsep 5 posisi kontrol dapat di akses pada link berikut.

Keyakinan Dasar Dibalik Restitusi: kecelakaan adalah bagian dari kehidupan. Restitusi adalah tentang membuat segalanya lebih baik. Restitusi memungkinkan individu untuk mendapatkan kembali harga diri melalui usaha pribadi. Restitusi menguntungkan orang yang dirugikan. Ini juga menguntungkan orang yang melakukan kesalahan. Pengampunan tidak sama dengan Restitusi.

Keyakinan kelas, untuk mewujudkan self discipline dengan efektif, pengakuan terhadap harga diri dan nilai-nilai yang dimiliki individu harus dikedepankan. Keyakinan-keyakinan inilah sebagai perwujudan nilai-nilai positif yang bersifat universal dan tidak terikat oleh latarbelakang atau entitas tertentu.  Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Keyakinan kelas ini disusun berdasarkan nilai-nilai positif dengan memperhatikan: 1) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit; 2) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal; 3) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif; 4) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas; 5) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut; 6) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat; 7) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.


Restitusi, dalam KBBI restitusi diartikan "ganti kerugian", namun dalam disiplin positif, kata restitusi memiliki makna mengganti perilaku dengan mengkompromikan nilai-nilai yang dianut oleh siswa. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).

Restitusi adalah upaya kuratif yang dilakukan guru terhadap siswa yang melakukan perilaku negatif di sekolah. Penanganan perilaku menyimpang tersebut tentu saja dengan mengutamakan nilai-nilai yang dimiliki siswa tersebut dan yang telah menjadi keyakinan sebelum perilaku menyimpang itu muncul. 

Bagaimana restitusi diterapkan?

Segitiga Restitusi

Segitiga Restitusi, merupakan tahapan yang ditawarkan oleh Dianne Gossen dalam menerapkan disiplin positif. Tahapan yang bisa dilakukan untuk melakukan resitusi diantaranya: 1) Menstabilkan identitas, Bagian dasar segitiga, merupakan upaya mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses; 2) Validasi tindakan yang salah, merupakan upaya untuk mengenali motivasi munculnya perilaku bermasalah dan sebagai pendorong murid untuk lebih terbuka tentang dirinya; 3) Menanyakan keyakinan, mengingatkan kembali terhadap keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh siswa sebagai upaya mengambil solusi penanganan yang tetap menghargai nilai-nilai yang dimiliki siswa untuk mengembangkan perilaku positif ataupun perilaku yang seharusnya dilakukan. 


Aksi nyata yang dilakukan berkaitan dengan upaya menumbuhkan budaya positif.

  1. Melaksanakan layanan konseling dengan pendekatan realitas sebagai wujud aksi nyata konsep teori kontrol William Glaseer.
  2. Berlatih menyusun keyakinan kelas yang berpusat pada nilai-nilai positif yang dimiliki oleh siswa.
  3. Melaksanakan deseminasi pengetahuan dan pengalaman dalam forum MGBK SMA Ponorogo
  4. Menjadi pemateri dalam In House Training di sekolah dengan tema Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila melalui Pengembangan Budaya Positif di Sekolah (Analisis Filosofi Ki Hajar Dewantara, Identifikasi Peran Guru, Menyusun Keyakinan Kelas dan Kreasi Animasi Berkarakter)



 


0 komentar:

Posting Komentar